Hujan air mata yang selalu membasahi tubuhku ini
Tak akan pernah berhenti mengalir karena kerinduanku padamu
Jika yang letih telah mampu membawaku tenggelam dalam kerinduan
Dan bila kusandarkan ini pada angin
Angin pun enggan menopangnya
Dan bila kubebankan kerinduanku ini pada paruh burung
Burung pun memilih diam
Dan bila kutitipkan kerinduan ini pada bulan
Bulan pun enggan membawanya dan meredupkan sinarnya
Lalu kucoba membawa pada air yang mengalir dengan tenang
Namun air pun menolaknya dan bergejolak
Melahirkan riak-riak dan gelombang
Akankah kegelisan dan kerinduan ini
Hanya bisa kau ungkapkan pada mata yang selalu meneteskan benih-benih
air mata ini
Tapi tak akan kubiarkan sampai padam
Sebab engkau adalah bagian dari ketenanganku
.........................................................................................................................................
Tabiat (yang) Tak Taat
Oleh: Muchlas J. Samorano*
Bahkan untuk mencintai sesuatu, seseorang mesti mengenal perangainya. Mengenal-sejauh ia bermakna mendekati, mencari tahu-akan menakwil simbol khayali. Pada titik tertentu, seseorang akan berusaha mengakrapi ide-ego imajinasinya untuk mempersonifikasikan laku dan kebiasaan obyek yang dicinta. Inilah usaha mengenal tabiat. Tetapi dalam puisi, tentu saja, memliki diktum “tak final”.
Dalam puisi, narasi dan kriya kata adalah propaganda. Setiap isi diksi sama-sama memiliki peluang untuk mengeksplorasi gerak-sungguhpun bagi sebagian pembenci, puisi menisbikan kenyataan (kebenaran, bisa juga) parse. Puisi WJ Thukul, misalnya, sampai kini tetap kontinyu dikumandangkan masyarakat pinggir, demonstran, buruh, dan semua pihak yang nyaris merasa tersatukan oleh letupan emosi puisinya. Tentu saja, bagi pembenci ataupun bukan, puisi memang hanya mengamini kebenaran personal. Tapi ingat, ia hanya tidak partikular.
Puisi memiliki tabiat yang tidak taat. Buktinya, perkembangan perpusian Tanah Air prarel melalui periodeisasi langgam penulisan yang (ternyata) tidak sama. Tabiat puisi tidaklah kedap dan di(ter)bakukan. Corak bahasa-sebagai bagian krusial kepenulisan-juga tidak diikat terlalu ketat. Bebas, lugas. Menukil istilah F. Budi Hardiman, Sang pelihat dari Masskrivk, M. Heidegger, pernah suatu waktu menulis: “...melalui puisi, kita menjadi sadar, bagaimana bahasa, dan dengan begitu, ia obyektif”.
Puisi menyajikan representasi fakta melalui interpretasi yang tidak tunggal. Makanya, oleh sebab ia tidak tunggal, atau interpretatif, ia galib disebut “bukan ego pribadi”. Padahal, jauh sebelu Muhidin M. Dahlan memiliki rambut gondrong, atau Shalihin punya Tarian Monyetnya, David Fontana secara eksplisit telah mendedah, bahwa puisi memang bukan dimaksudkan untuk menyampaikan uraian persis tentang fakta, tetapi untuk mengungkapkan sesuatu melalui tamsil, diperas dari perasaan, dan dilumer ke dalam emosi.
“penyair besar bukan samasekali sekadar tokoh literer. Karya penyair besar tidak bisa dinilai melalui pemikiran representasional sebagaimana kritisme literer”, kata Heidegger, lagi.
***
“rinduku padamu” ini adalah sejudul puisi yang ditulis Badrul Fuadi: seorang lemah dari Sumenep yang kehilangan handphone, tiga minggu lalu. Sebagai puisi romantis, Badrul menisbikan spektrum penguatan penada. Usaha Badrul untuk menarasikan (tepatnya, menuliskan) gelayut kerinduannya melalui metafora tampak begitu kaku. Ingat, dalam puisi, metafora dipandang perlu, salah-satunya, untuk me-lemas-kan bait yang kaku.
Begitu juga, tamsil yang dipilih Badrul untuk mengafirmasi ketakterhinggaan rindunya, tampak paudis (dari kata poud, yang berarti kanak, kekanak-kanakan). Diksi yang dipilih Badrul tidak diolah sedemikian plastis, elegan, dan nyaman. Sehingga, pembaca-terutama saya-terasa hanya membaca “curhat” dairy seorang yang dilamun kangen. Tidak lebih. Seperti puasa tanpa pengampunan, puisi Badrul hanya berisi “gerundelan” tanpa getaran melodi nurani.
Badrul harus konsisten menekuni kaidah, bahwa puisi, sekalipun memiliki tabiat, tetapi ia tidak taat, tida ketat, menulis puisi, meski hendak ditulis dengan unsur bahasa paling sederhana, tetapi ia memiliki talian khas dengan kerja ide dan kreasi pikiran. Karena, kata Heideger, wacana berpikir yang asli adalah puisi. Logika puitika yang hadir bahkan dari kesesuaian diksi yang dipilih mesti bersinggungan dengan nuansa getaran hati dan pikiran tanpa malu-malu.
Menulis puisilah, tetapi ingat, membaca semua gerak getaran dari setiap obyek yang dapat/tidak dapat diindera, adalah hukum wajib setiap penyair. Menulislah. Relakan handphonemu itu. Jangan lemah-lemah. Sudah.
*Muchlas J. Samorano, bukan budayawan!
04 September 2016
0 komentar:
Posting Komentar