Selasa, 27 September 2016

Posted by Unknown | File under :
pu

(PUISI FARISI AL)

MUSIM (2)


#
suatu waktu hujan jatuh
melubangi kenangan di jantungmu

dadamu basah oleh rindu
berlumur waktu yang runtuh
    --kecemasan bagai layang-layang
terbang di ketinggian yang bimbang
:antara pulang
dan
putus tak kembali

#
suatu waktu hujan hilang di jantungmu
membawa bekas rindu
--kecemasan akan selalu gugur dan kerontang
 sampai kemarau juga hilang dari pangkuanmu
            :membangun waktu
dari pedih yang sama

Solo-Yogya, 2016

.....................................................................................................................................



—Musim Kepunyaan Farisi Al—
Oleh: Sengat Ibrahim


Bagian Pertama

Musim(2) merupakan judul dari sebuah puisi dari seorang penyair Farisi Al Sumenep yang disetor ke abdi saya. Orang yang baru merangkap belajar tulis-menulis terutama dalam dunia literatur puisi. Musim(2) Farisi Al merupakan barang berharga, lebih cakap barang oleh-oleh bagi kita ssemua, sebagai bukti nyata kegagahan-singgahnya di kota Surakarta kemaren lusa.
   
Membaca puisi musim(2) saya merasakan, (musim yang benar-benar sengaja di cipta)  oleh penulisnya.  Karna musim tersebut berbeda dengan musim saya, mudah-mudahan berbeda juga dengan musim kita semua para anggota LSKY Yogyakarta yang ber-iman dan ber-budi luhur sepanjang masa. Saya rasa, penyanyair sukses dalam mengeksekusi sebuah kejolak batiniah-(nya) mengenai musim yang dimaksud. Bukankah puisi memang sebuah dunia lain yang sengaja di bangun melalui tubuh kata?
   
Saya tidak tahu apakah simbol dari angka  (2) di judul puisi tersebuat adalah  2 tubuh musim yang diracik kemudian disatukan menjadi musim yang menunggal. Atau musim(2) tersebut merupakan puisi kedua yang beliau tulis dengan menggunakan judul yang sama, kebenarannya Wallahu A’lam Bissawab. Tapi apapun di balik itu semua tubuh puisi tersebut memikat. Semacam tubuh perempuan yang saya sering temui di lampu merah sewaktu berjualan koran. Puisi yang aduhai.
   
//suatu waktu hujan jatuh// dalam bait pembuka penulis menyajikan sebuah realitas biasa yakni hujan, luar biasanya hujan yang Farisi kirim; hujan yang menyimpan kekuatan//melubangi kenangan di jantungmu// lebih khusus lagi, hujan tersebut sengaja dicipta berharap, semua yang membaca bakal memasuki dunia— ‘kenangan di jangtung’ ia kokohkan kemudian dengan penggunaan kalimat imbuhan(mu). Sekarang pertanyaannya, sebarapa dekat hubungan kenangan dengan jantung? Lebih cocok mana tempat kenangan tersebut antara fikiran dan jantung? Karna puisi pekerjaan paling prinsip, paling rahasia. Lahir berdasarkan ke-nyamanan si pengarang (sa-kareppa thibi’).  saya hanya menguanjurkan silahkan, buka kembali kamus KBBI.
   
Dilanjut pada bait selanjutnya, //dadamu basah oleh rindu// Ternyata penyair Farisi Al sangat hati-hati dalam mengemas diksi. Barangkali benar menulis puisi itu memang pekerjaan mengumbar aib, sengaja mengabarkan sesuatu segelap mungkin. Maka bukan keheranan lagi kalau ketika membaca puisi kepala kita menjadi pusing. Tetapi yang menjadi persoalan genting; seberapa banyak diksi “rindu” mengemban tafsir?

// berlumur waktu yang runtuh// baru setelah sampai pada bahasa ini batin saya menggeletar. Power diksi dalam kata di atas sungguh nikmat. Hasan al-Bashri pernah mengatakan: Allah mengasihi hamba-Nya minimalis dan berdialek fasih karna Allah membenci banyak bicara. Ahmat bin Isma’il al-Katib, pernah menulis puisi berbunyi: Sebaik-baik kalam ialah sedikit, (tapi) menunjukkan banyak (hal) saya copot dari resensi Nashih Nashrullah yang dimuat di koran Republika Ahad 11 September 2016.

//--kecemasan bagai layang-layang// jelas bagaimana gejolak kita waktu kanak sering jumpai hujan yang turun secara tiba-tiba. Ketika pas layangan kita onjuk sedang melepas haluan kemudian hujan, layangan jumpalitan tak terselamatkan. Sebenarnya hujan yang jatuh kala itu adalah hati kita yang runtuh dalam keadaan utuh. //terbang di ketinggian yang bimbang// pencitraan yang hingar-bingar//:antara pulang//dan//putus tak kembali// 

Bagian Kedua

Hujan yang semula datang dan terawat sekarang hilang. Itu jelas hokum alamiah yang berkehendak, Farisi menggambarkan hal tersebut melalui bait berikut; //suatu waktu hujan hilang di jantungmu//

Proses alamiah tersebut takdiabaikan begitu saja. Penyair peka ada sesuatu pekerjaan  yang musti dilakukan supaya proses alamiah tersebut terasa dan tetap berguna meskipun taksesuai kehendak atau harapan dari sesuatu yang mengalami realitas tersebut. Yang di maksud di atas penyair nukilkan melalui bait berikut; //membawa bekas rindu//

Dari bait tersebut jelas ada upaya dari penyair ‘menyadarkan’ akan segala hal yang menimpa kita di dunia itu adalah berguna. Bahkan sesuatu yag jelas tidak nyaman berkat kekuatan bahasa yang renyah dan imajis menjadi lezat dinikmati, begitulah tugas penyair yang sebenarnya; //kecemasan akan selalu gugur dan kerontang// // sampai kemarau juga hilang dari pangkuanmu//

Sesuatu yang dijalani jika kita benar-benar menikmati, sesuatu yang barangkali menguras tenaga dan butuh banyak waktu akan tersa sekejap. Di atas ada banyak komponen metafor yang diangkat yang sangat berkaitan menggambarkan musim yang dimaksud Farisi Al; kecemasan/gugur/kerontang/kemarau/.

Dari saking takterasanya.  Dari saking benar-benar menikmati. Penyair menutup penciptaan musimnya tetap tidak mengalami perubahan, tetap merelakan ‘musim(2)’ tersebut menjadi musim yang terluka atau yang dijadikan terluka; //:membangun waktu// //dari pedih yang sama//.

 Penyair sepertinya begitu patuh pada hal-hal yang membuat dirinya menderita. Seolah takada satu upaya sekalipun untuk menangkalnya. Sungguh saya jadi terharu dan terburu.

Setidaknya dengan rampungnya tulisan ulasan saya bukti nyata kalau puisi Farisi Al yang berjudul Musim(2) di atas tergolong pada karya puisi modern yang wajib dibaca bagi siapapun khalayak yang merasa masih berbangsa juga bernegara Indonesia. Wassalam.


    Kutub-Yogyakarta 18 September 2016



0 komentar:

Posting Komentar