Rabu, 05 Oktober 2016

Posted by Unknown | File under :
lsky.com
    Percayalah, setelah mendengar cerita ini, kau akan selalu mengingatnya. Sosoknya akan senantiasa bergelayut dalam ingatanmu. Tapi tentu saja ia tak akan kau ingat setiap saat. Tidak akan seperti. Ia akan mencengkeram ingatanmu, hanya ketika kau dan kawan-kawanmu tengah berbincang tentang perempuan, dan hal-hal yang hanya berhubungan dengan perempuan.

    Jangan pernah sekali-kali merasa ada sesuatu yang janggal, jika setelah mendengar cerita ini, kau sama-sekali tak akan mengingat sosoknya tatkala kau dan kawanmu membincangkan hal-hal lain, semisal tentang negara yang patut kau curigai ini. Apalagi saat kau membincangkan hubungan tak masuk akal antara sebatang rokok dan secangkir kopi, ingatanmu sama-sekali tak akan terpatri pada sosok yang akan segera kau jumpai dalam cerita ini.

    Kau boleh saja menyematkan gelar atau julukan apa saja padanya. Apa saja. Bahkan kau boleh menyejajarkannya dengan sampah, batu, ampas kopi, abu bekas pembakaran rokok. Atau bahkan dengan bangkai curut-curut yang dapat dengan mudah kau temui di atas aspal jalan. Ya, curut-curut dalam ingatanmu, yang entah bagaimana mulanya, selalu berpose layaknya model yang tengah telentang di muka aspal, dengan mulut ternganga bersimbah darah. Semua itu hanya supaya ingatanmu dapat dengan mudah memanggil sosok ini.
    Baiklah, untuk mengawalinya, kau akan dihadapkan pada pertanyaan ini: pernahkah kau tahu, atau paling tidak mendengar perihal biksu? Ya, benar sekali. Jawabanmu persis; biksu adalah petapa Budha yang jika patuh, ia tak akan sesekali bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keduniawian. Lebih jelasnya lagi, ia tak akan (atau barangkali tidak dibolehkan) mengumbar syahwat. Atau dalam bahasa kampungannya, nafsu kebinatangan. Tapi barangkali akan terlalu sentimentil, bahkan terlalu lugu adanya, jika sosoknya disandingkan dengan biksu. Sebab ia tak semulia itu. Biksu, kau tahu, akan senantiasa terlihat suci laksana dewa yang entah bagaimana mulanya singgah di bumi.

    Meski mungkin terlalu berlebihan menyandingkannya dengan seorang biksu, tidak bisa dipungkiri bahwa ia, lelaki dalam cerita ini, memiliki keterkaitan walau mungkin hanya sedikit dengan jalan hidup seorang biksu. Tapi ingat, hanya sedikit. Sebab ia hanya lelaki tanggung yang pada awalnya memiliki cita-cita tinggi menjadi seorang ahli ilmu politik. Cita-cita itulah yang kemudian mengantarkannya melanjutkan pendidikan di sebuah kampus yang tak begitu masyhur di kota yang perlahan namun pasti mulai sengkarut ini.

    Sosok sepertinya, dapat dengan mudah kau temukan di kampus-kampus terdekat. Jika dilihat sekilas, ia memang tak jauh berbeda dengan lelaki lain di kampusnya. Namun setelah ini, kau mungkin akan menjadi iba. Melebihi rasa ibamu pada pengemis yang pura-pura berjalan pincang demi lemparan pecahan koin penyambung hidup.

    Di masa-masa awal kuliah, ia benar-benar mengharamkan suatu hal berbau perempuan dalam kamus hidupnya. Dengan makhluk bernama perempuan, jangankan menjalin kasih, bertegur sapa pun sangat ia batasi. Jika bukan karena suatu urusan yang sangat penting, pantang baginya bersinggungan dengan perempuan. Kau tahu apa alasannya? Bukan. Bukan begitu. Ia sama sekali tak memiliki ketertarikan biologis terhadap sesama jenis. Cita-cita itulah alasannya. Baginya, perempuan adalah mahkluk yang memiliki potensi terbesar menjegalnya meraih gemilangnya mimpi masa depan itu.

    Melihat sesama jenisnya di kampus jatuh dalam pusaran jalinan kasih dengan lawan jenis, ia seringkali melirik sinis seraya terbahak dalam hati. Dan hal itu sangat sering ia lakukan. Sebab hampir di setiap sudut kampus, selalu ia dapati manusia lain jenis bergumul menjalin kasih. Meski di sudut-sudut tersembunyi kampus belum pernah ia jumpai mereka sampai berbuat hal yang melanggar hukum dan agama, nyatanya pergumulan manusia beda jenis itu membuatnya tetap melirik tajam dan terbahak seraya membayangkan bagaimana suramnya masa depan manusia-manusia itu.

    Apa? Tahu dari mana? Jadi kau tak percaya cerita ini? Hahaha…. Itu wajar. Dengarkan saja cerita ini sampai selesai. Baru kau akan percaya.

    Layaknya dedaunan yang pada akhirnya harus menguning lalu gugur, pula seperti halnya air mata langit yang tak pernah meluncur terbalik, waktu beranjak tanpa permisi. Dan entah bagaimana mulanya, lelaki itu mulai merasa ganjil. Entah sadar atau tidak, dalam penglihatannya, ruang di sekitar seolah penuh bercak bercucur cairan kental bernama kekeliruan. Pelan-pelan dirasanya bercak-bercak itu mulai menggerogoti sekujur tubuhnya. Ya, ia mulai meyakini ada kodrat yang luput dipahaminya. Seiring bergantinya terang dan gelap, melalui bermacam pertanda semisal rekatnya percumbuan sepasang capung di udara, begitu pula mesranya rayuan merpati jantan terhadap betinanya, lelaki itu merasa diri tak ubahnya curut yang dilindas roda kekeliruan. Tiap senja menjelang, di atas onggokan ban bekas yang biasa ia duduki di tepi rel berkawan deru kereta api melintas, deru dalam batinnya serasa beribu kali lebih memekakkan lagi. Hingga akhirnya, di tepi nadir perenungan itu, ia sadar harus ada yang diubah. Gejolak dalam dirinya itu sungguh begitu kuat. Tak kuasa ia bendung.

    Begitulah. Jika pada awalnya bersinggungan dengan hal-hal berbau perempuan adalah tabu baginya, lembaran halaman hidupnya setelah itu ia isi dengan bermacam teori yang berusaha ia kuasai tentang bagaimana cara memutar roda hidup yang selama ini keliru diputarnya. Teori itu, teori tentang bagaimana cara menjalin kasih dengan makhluk bernama perempuan itu, saban hari ia pelajari. Didekatinya satu persatu kawan sesama jenis yang menurutnya telah fasih perihal menundukkan perempuan. Rasa sungkan yang pada awalnya bergelayut, perlahan ia tepis.

***
 
    Perempuan lebih memilih lelaki nakal ketimbang lelaki baik-baik. Itulah ilmu pertama yang dikaisnya dari beberapa kawan. Berbilang hari selanjutnya ia habiskan untuk bejalar tentang bagaimana menjadi seorang lelaki nakal; lelaki tidak baik-baik. Setelah ia amati bermacam rupa lelaki di kampus yang menurutnya nakal, ia meraup kesimpulan bahwa lelaki nakal adalah lelaki yang mandi beberapa hari sekali, bercelana sobek sana sobek sini, rambut acak-acakan, dan satu hal lagi: merokok. Kemudian dengan mantap, ia tunaikan semua itu satu-satu. Dikeratnya semua celana yang ia punya dengan pisau yang ia beli di toko kelontong seberang kampus. Dibatasinya air menyentuh kulit. Dibuangnya minyak rambut yang bisa membuat rambutnya tidak acak-acakan. Kemudian mulailah ia belajar menghisap tembakau yang di awal kali betul-betul sanggup membikin tempurung kepalanya sempoyongan dan tenggorokannya penuh dahak kental.

    Semua itu, pada awalnya, sanggup membikinnya puas. Sebab di hari pertamanya di kampus, dengan penampilan baru itu, orang-orang menjadi lebih memerhatikannya dibanding sebelumnya. Namun ia tak tahu mengapa tak ada seorang perempuan pun yang mendekatinya. Ia tak tahu apa yang kurang dan apa yang salah. Tentu ia tak mau lebih dulu mendekati seorang perempuan. Sebab yang ia tahu, dan ini tentu saja menurut beberapa kawannya, perempuan tidak boleh didekati lebih dulu. Sebab dengan begitu, perempuan justru akan menghindar. Pergi. Jadi, biarkan perempuan yang mendekat.

    Berbilang hari ditempuhnya tanpa hasil, ia bertanya lagi kepada seorang kawan yang sangat ia yakini bisa membantunya. Sebab kawan itu, ia tahu telah berpuluh kali gonta-ganti perempuan. Kawan itu kemudian menyodorkan tanya apakah ia masih rajin menunaikan shalat? Tentu saja masih rajin, jawabnya. Dan tanpa ia duga, kawan itu justru tertawa terbahak-bahak seraya berujar, bahwa zaman sekarang sudah sangat sedikit perempuan yang menyukai lelaki yang rajin shalat. Meski sangat terkejut dan tak percaya, lelaki itu tetap menunaikan saran itu. Dibuangnya kosakata shalat dalam hidupnya seraya berharap hal itu akan membuahkan hasil; membuatnya tak sendiri lagi. Namun, berbilang waktu kemudian, semua teori yang ia amalkan tak sekali pun berbuah hasil. Nihil. Padahal sudah bejibun pula ilmu tambahan dari kawan-kawannya yang ia amalkan, semisal menenggak minuman beralkohol. Dari yang kadarnya rendah, sampai yang entah berkadar berapa sebab dicampur macam-macam.

    Tak kunjung menuai hasil, semua itu pada akhirnya membuatnya muak. Meski tak secara terang-terangan, ia maki-maki para kawan yang baginya gagal memberi saran untuk membuatnya memiliki teman hidup bernama perempuan.

    Suatu hari, ia dikejutkan oleh seorang kawan jauhnya di kampus yang ia tahu dahulu biasa-biasa saja (bahkan bisa dibilang hampir mirip dirinya sebelum merubah total penampilan), yang entah bagaimana caranya bisa menaklukkan hati seorang perempuan tercantik se-fakultas. Padahal, ia sangat yakin tampangnya jauh lebih dapat diperhitungkan ketimbang kawan jauh yang menurutnya bertampang sangat pas-pasan itu. Maka tanpa basa-basi lagi, ia dekati kawan jauh itu. Ia lontarkan semua keluh kesahnya dari pangkal sampai ujung.

    Luput dari apa yang ia duga sebelumnya, kawan itu justru terbahak menertawakannya. Dan itu membikinnya kesal dan sempat berkeinginan melayarkan tinju bulat-bulat tepat dihidung kawan itu. Namun keinginan itu memuai tiba-tiba tatkala kawan itu mengungkapkan hal yang selama ini luput digenggam nalarnya. Sebab menurut kawan itu, ia tak perlu bersusah payah menyobek-nyobek celana, memorak-porandakan penampilan, merusak diri dengan asap tembakau, apalagi sampai meninggalkan shalat. Kawan itu hanya mengajaknya ke suatu tempat pada malam hari, seraya menyuruhnya membawa beberapa lembar rupiah.

    Ya, kali ini kau benar. Tempat itu tepat di seberang stasiun kota ini. Hanya dengan beberapa lembar rupiah, lelaki itu pun mendapatkan apa yang selama ini didambanya. Bahkan jauh melebihi yang ia duga sebelumnya.

    Kau tahu siapa kawan jauh yang telah berjasa mengantar lelaki itu menggapai surga dunia? Hahaha…. Siapa lagi kalau bukan orang yang sedang duduk di depanmu sambil menceritakan kisah ini?***
............................................................................................................................................

Usaha Seorang Kawan Membawa Ketenangan*
Oleh: Ainul Amien

Barangkali benar apa yang disampaikan oleh para ahli psikolog macam Jean Paule Sartre, bahwa manusia memiliki sifat ingin mencoba. Karena, keinginan itu lahir atas dasar penasaran, dan karena penasaran itulah, manusia seringkali harus bertindak di luar kediriannya. Misalnya, bagaimana keinginan manusia terehadap hal-hal yang berbau menyenagkan (happy fun). Terlepas dari konteks baik dan buruk.

Adanya ketertarikan manusia untuk mencoba sesuatu, adalah bagaian dimana ia akan senantiasa mengiginkan perubahan. Karena bagi manusia, perubahan tak ubahnya suatu identitas kedirian yang ingin dilihat dan diakui keberadaannya. Apalagi di zaman yang dalam bahasanya Mukhlas J Samorano, semakin banal ini.

Memang keberadaan manusia di muka bumi ini butuh yang namanya pengakuan. Sebab hal itu, adalah cara bagaimana menghindar dari keterasingan. Bisa kita lihat dan bedakan, laki-laki dan perempuan yang pernah “pacaran” misalnya, apa yang terjadi; keindahan selalu membawanya terbuai dengan keadaan, hidupnya berbunga-bunga penuh kebahagiaan. Berbeda kemudian dengan orang yang menganut paham jomloisme. Walau paham ini sering kali menyiksa tapi baginya hidup di tengah kesendirian adalah kutukan. Bahkan kalau Sartre menyebutnya “orang lain adalah neraka bagiku”. Tapi bagi orang yang paham aliran “ngeri” ini, semoga menjadi penganut yang bijak dan tabah.

Selaras dengan salah satu cerpen karangan Ahmad Baihaki, kebetulan saya anggap sebagai kata lain dari ungkapan perasaan seorang pemuda yang menolak nasib. Kenapa menolak nasib, karena fikir saya, pemuda mana yang tidak senang terhadap kenyamanan dan kebebasan. Sebagaimana tertuang dalam cerpen “Lelucon Seekor Curut” yang  saya anggap juga dibangun atas dasar demikian.

Kali ini bukan suatu hal yang tabu untuk bertindak di luar nalar. apalagi berada di alam bebas seperti sekarang ini. Cerpen “Lelucon Seekor Curut” merupakan gambaran singkat, bagimana kehidupan sekarang ini. Si tokoh dalam cerpen ini, lahir dengan suasana dan nuansa kehidupan yang baru,  keiginan untuk  lepas dari kehidupannya yang begitu-begitu (monoton) saja. Apa sebenarnya yang melatar belakangi hal ini?

Berawal dari pergolakan batin yang selalu mengganggu ketenangan, membuat si tokoh dalam cerpen “Lelucon Seekor Curut” harus rela melepas segala aktifitas terpujinya itu. Padahal si tokoh dalam cerpennya Ahamad Bayhaki, mulanya adalah seorang pemuda yang memiliki aktifitas sangat terpuji, ibadahnya rajin, ngajinya aktif, dan berakhlak mulia. Konon, sebelum menjadi seorang mahasiswa, laki-laki dalam cerpen Ubay tergolong sebagai orang alim di desanya. Entah laki-laki ini bersal dari daerah mana, penulis tidak menyebutkan. sehingga si tokoh—karena seorang laki-laki, saya sebut saja Sauki—harus mengambil jarak dengan yang namanya perempuan. Hal itu digambarkan pada paragraf ke-6: perempuan adalah mahkluk yang memiliki potensi terbesar menjegalnya meraih gemilangnya mimpi masa depan itu.

Sebagai seorang yang berjiwa muda, tentu tidak semua orang mampu bertindak sebagaimana pemuda yang ada dalam tokoh cerpen ini. Bukan karena bardasarkan pilihan atau pengecualian, namun kondisi sosial masyarakat yang terkadang membuatnya harus bertindak penuh etika. Dan  semua itu butuh tanggung jawab dan komitmen yang kuat.

Menjaga komitmen, tidak semudah merawat hewan peliharaan. Sebab, butuh motifasi dan keinginan yang kuat. Karena keberadaan manusia tidak selamanya selalu lurus, atau sebaliknya. Sebagaimana sifat manusia yang dinamis. Tak salah kemudian, jika penulis dalam hal ini membandingkan perilaku si tokoh dengan biksu. Karena dianggap memiliki kesamaan dalam perilaku biksu. Kita tahu bahwa, biksu merupakan manusia yang teguh dalam memegang komitmen. Sehingga segala yang berkaitan dengan duniawi, telah lebur bersama keyakinan.

Membaca cerpen “Lelucon Seekor Curut” kita diajak untuk melihat, betapa kejamnya kehidupan ini. Kita mungkin pernah mengalami hal semacam ini, dan mau tidak mau juga harus mengangkat tangan untuk mengatakan, apa sebenarnya yang terjadi dengan kita.

Sapardi Djoko Damono dalam kesusastraan indonesia modern (jakrta. 1983/58) mengatakan, betapa cerpen telah memiliki tempat yang layak bagi masyarakat dan sungguh berguna bagi pembacanya. Sehingga  bagi saya, membaca cerpen ini melalui dua unsur yang dibangun di dalamnya. Pertama, unsur pragmatik. Bagaimana Cerpen bisa sampai dan dapat di pahami oleh pembaca. Sebagai mana pemahaman pambaca. Misalnya dari judul, Lelucon Seekor Curut. Dari kata “lelucon” saja, pembaca sudah sedikit paham dengan alur cerita ini. Bagaiman penulis (ubay) ingin mengatakan, bahwa membaca cerpen ini tidak harus dengan  mengerutkan dahi. Sebab cerpen ini hanya guratan-guratan kehidupan dari perubahan seseorang. Berbeda kemudian ketika kita mambaca cerpennya Agus Noor dalam kumpulan cerpennya, “Tiga Cerita Satu Tema”; Pesan Seorang Pembunuh, Kisah Seorang Penembak Gelap, Ia Ingin Mati di bulan Ramadhan, yang pada dasarnya memiliki satu benang merah. Ketiga cerita, yang ditulis Agus Noor di Jogjakarta sepanjang 1998-2005, itu secara garis besar bercerita seputar penembak gelap.

Kedua, adalah unsur mimetik. Sebagaimana definisinya, bagaimana sebuah karya dapat berhubungan dengan di luarcerpen itu sendiri. Artinya, melainkan lebih kepada kehidupan sekitar yang memberi pengaruh terhadap tokoh dalam cerpen ini. Maka, jika kita masuk  pada cerpen “Lelucon Seekor Curut” karya Ubay, bisa dibilang cerpen ini berbicara tentang pengaruh lingkungan terhadap perubahan seseorang. Sebagaiman si-tokoh dalam cerpen ini, yang terpengaruh oleh lingkungan kampus dan teman yang ada disekitarnya. Kampus yang setiap hari di penuhi dengan perjumpan kemesraan, antara laki-laki dan perempuan, telah membuat pandangan dan perasaan Sauki dalam cerpen Ubay, juga harus tergerus dengan sasana romantisme ini. Sehingga yang terjadi, klaim-klaim yang tidak baik dan nyeleneh di adopsi dan dijadikan bahan rujukan dalam aktifitas hidupnya.

Tak ada kata lain dari pada kesia-siaan. Segalanya mulai hilang dan lenyap ditelan zaman. Kini yang tersisa hanya bayangan. Ya, kali ini kau benar. Tempat itu tepat di seberang stasiun kota ini. Hanya dengan beberapa lembar rupiah, lelaki itu pun mendapatkan apa yang selama ini didambanya. Bahkan jauh melebihi yang ia duga sebelumnya.  Selebihnya saya pasrahkan kepada teman-teman sekalian. Ngereng!

*Sebagai bahan pertanggung jawaban dalam kajian, Lesehan Sastra Kutub yokyakarta  (LSKY),  01 Oktober 2016. Semoga membahagiakan!
 

2 komentar: