Selasa, 27 September 2016

Posted by Unknown | File under :
Syarat awal untuk menjadi santri di pesantren ini adalah mandiri alias mencegat kiriman dana dari orangtua. Setiap santri wajib menulis, terutama berorientasi pada media massa. Honor yang diperoleh dari menulis di media massa itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Secara umum, pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru, atau yang lebih kondang disebut kiai. Santri yang belajar di Pesantren disediakan tempat untuk belajar, asrama untuk menginap, dapur untuk memasak, masjid untuk beribadah. tak ayal kalau pesantren pencetak santri-santri, kiai, ahli tafsir, mubaligh. Namun dari sekian tujuan, ada sebuah pesantren yang mayoritas berkarir sebagai penulis.

Pesantren tersebut adalah Pesantren Hasyim Asy’ari “Kutub” yang terletak di Kota Gudeg. Hampir setiap minggu, nama-nama santri pesantren ini menghiasi media massa di Indonesia baik lokal maupun nasional. Di kalangan pesantren terutama di Pulau Jawa, kalangan pelajar, akademisi serta media massa, nama pesantren yang satu ini sudah tidak asing lagi.
Dulu, pesantren ini terletak di sebelah selatan Dusun Krapyak Kulon (Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul) alias di sebelah barat komplek Q Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Dan pada 2007-sekarang Pesantren ini pindah tempat ke Jl. Parangtritis km 7,5 Cabean, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Menempati dua buah rumah Joglo dengan status hak pakai. Dan Alhamdulillah, dalam tenggat waktu dekat ini akan memiliki tempat permanen sendiri.
Adalah KH. Zainal Arifin Thoha pendiri pesantren ini pada 22 Mei 2001. Gus Zainal–panggilan akrab beliau—merupakan seorang penyair, kolumnis, penulis buku, penerjemah kitab, serta aktif dalam mengisi pengajian di beberapa daerah. Selain dikenal ulet, sosok kelahiran Kediri, 5 Agustus 1972, ini juga dikenal anti gengsi. Faktanya, sebagai pengasuh pesantren, beliau tidak merasa malu meskipun pernah nyambi sebagai pedagang krupuk. Selain itu, beliau mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, sekaligus menjadi pengurus Anshor Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pesantren yang menapak usia 15 tahun ini pada mulanya hanya memiliki dua orang santri, yaitu Hayun Faiza (Kediri) dan Salman Rusydi Anwar (Madura). Namun pada tahun keenam, jumlah santrinya mencapai 45 orang santri tetap dan 10 orang santri kalong (santri yang tidak tinggal di asrama). Mereka berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Madura, bahkan dari berbagai pulau di tanah air. tujuan mereka, 80% menuntut di berbagai universitas di kota pelajar ini.

Pokok pembelajaran di pesantren ini adalah, membaca apapun termasuk novel, puisi, buku teori dan lain sebagainya. dari kebiasaan membaca ini sehingga melahirkan aktivitas menulis. Oleh sebab itu, sejak masih menjadi santri, mereka sudah berprofesi sebagai penulis, bahkan 90% dari mereka. Ini tidak terlepas dari peran Gus Zainal dalam membimbing santri-santrinya untuk selalu produktif dalam berkarya serta kreatif dalam berpikir.

Kendati pesantren ini berusia belia, namun memiliki struktur kepengurusan dan kegiatan yang tetap. Hal ini terbukti dengan berbagai kegiatan yang telah terealisasi pada setiap periodenya, misalnya; kajian kitab klasik, kajian sastra, kajian tokoh, shalawatan, dialog kebangsaan, forum keluarga, olahraga, kajian media, dan lain sebagainya.  

Di Pesantren ini, Gus Zainal menerapkan konsep mandiri secara mutlak setelah melalui beberapa tahapan tertentu. Tahapan pertama, dalam triwulan, santri masih diperbolehkan meminta biaya dari orangtuanya. tahapan kedua, ujian pasca tiga purnama, yakni sambil berproses menulis, para santri dituntut untuk membiaya dirinya sendiri, baik dengan berwirausaha, bekerja di home industry (industri rumahan) atau pekerjaan lain yang ada di sekitar pesantren yang sekiranya tidak mengganggu kegiatan kuliah dan proses menulis. Tahapan ketiga, adalah tugas santri yang sudah mengibarkan karyanya di media massa, untuk membimbing santri lain yang belum dimuat. Inilah metode pembelajaran di pesantren menulis ini, yang sekaligus menjadi ujian tingkat tawakal, keyakinan, dan juga sejauh mana para santri menambatkan optimisme kepada Allah SWT berkaitan dengan rezeki, belajar, dan menjalin interaksi sosial di masyarakat yang masif dan harmonis.

Dengan keuletan, kesabaran serta istiqamah Gus Zainal, pesantren ini mampu melahirkan penulis-penulis muda berbakat. Dan tulisan para santri telah dimuat di Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Sindo, Koran Tempo, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan, Majalah Genta, Indopos, Horison, Kedaulatan Rakyat, Bernas dan pelbagai media lokal lainnya.

Model-model pembelajaran di atas, merupakan implementasi dimensi spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas. Dimensi inilah yang dibangun, sekaligus menjadi jargon pesantren. Gus Zainal mengajak seluruh santri untuk berjalan beriringan menerapkan dimensi tersebut dalam satu integritas yang termanifestasikan dalam satu hadist khairun naas anfa’uhum linnaas (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Amin!

2 komentar: