Syarat awal untuk menjadi santri di pesantren ini adalah mandiri
alias mencegat kiriman dana dari orangtua. Setiap santri wajib menulis,
terutama berorientasi pada media massa. Honor yang diperoleh dari menulis di
media massa itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Secara umum, pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang
para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru, atau yang
lebih kondang disebut kiai. Santri yang belajar di Pesantren disediakan tempat
untuk belajar, asrama untuk menginap, dapur untuk memasak, masjid untuk
beribadah. tak ayal kalau pesantren pencetak santri-santri, kiai, ahli tafsir,
mubaligh. Namun dari sekian tujuan, ada sebuah pesantren yang mayoritas
berkarir sebagai penulis.
Pesantren tersebut adalah Pesantren Hasyim Asy’ari “Kutub” yang
terletak di Kota Gudeg. Hampir setiap minggu, nama-nama santri pesantren ini
menghiasi media massa di Indonesia baik lokal maupun nasional. Di kalangan
pesantren terutama di Pulau Jawa, kalangan pelajar, akademisi serta media
massa, nama pesantren yang satu ini sudah tidak asing lagi.
Dulu, pesantren ini terletak di sebelah selatan Dusun Krapyak
Kulon (Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul) alias di sebelah barat
komplek Q Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Dan pada
2007-sekarang Pesantren ini pindah tempat ke Jl. Parangtritis km 7,5 Cabean,
Panggungharjo, Sewon, Bantul. Menempati dua buah rumah Joglo dengan status hak
pakai. Dan Alhamdulillah, dalam tenggat waktu dekat ini akan memiliki
tempat permanen sendiri.
Adalah KH. Zainal Arifin Thoha pendiri pesantren ini pada 22 Mei
2001. Gus Zainal–panggilan akrab beliau—merupakan seorang penyair, kolumnis,
penulis buku, penerjemah kitab, serta aktif dalam mengisi pengajian di beberapa
daerah. Selain dikenal ulet, sosok kelahiran Kediri, 5 Agustus 1972, ini juga
dikenal anti gengsi. Faktanya, sebagai pengasuh pesantren, beliau tidak
merasa malu meskipun pernah nyambi sebagai pedagang krupuk. Selain itu, beliau
mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta,
sekaligus menjadi pengurus Anshor Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pesantren yang menapak usia 15 tahun ini pada mulanya hanya
memiliki dua orang santri, yaitu Hayun Faiza (Kediri) dan Salman Rusydi Anwar
(Madura). Namun pada tahun keenam, jumlah santrinya mencapai 45 orang santri
tetap dan 10 orang santri kalong (santri yang tidak tinggal di asrama). Mereka
berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Madura, bahkan dari berbagai
pulau di tanah air. tujuan mereka, 80% menuntut di berbagai universitas di kota
pelajar ini.
Pokok pembelajaran di pesantren ini adalah, membaca apapun
termasuk novel, puisi, buku teori dan lain sebagainya. dari kebiasaan membaca
ini sehingga melahirkan aktivitas menulis. Oleh sebab itu, sejak masih menjadi
santri, mereka sudah berprofesi sebagai penulis, bahkan 90% dari mereka. Ini
tidak terlepas dari peran Gus Zainal dalam membimbing santri-santrinya untuk
selalu produktif dalam berkarya serta kreatif dalam berpikir.
Kendati pesantren ini berusia belia, namun memiliki struktur
kepengurusan dan kegiatan yang tetap. Hal ini terbukti dengan berbagai kegiatan
yang telah terealisasi pada setiap periodenya, misalnya; kajian kitab klasik,
kajian sastra, kajian tokoh, shalawatan, dialog kebangsaan, forum keluarga,
olahraga, kajian media, dan lain sebagainya.
Di Pesantren ini, Gus Zainal menerapkan konsep mandiri secara
mutlak setelah melalui beberapa tahapan tertentu. Tahapan pertama, dalam
triwulan, santri masih diperbolehkan meminta biaya dari orangtuanya. tahapan
kedua, ujian pasca tiga purnama, yakni sambil berproses menulis, para santri
dituntut untuk membiaya dirinya sendiri, baik dengan berwirausaha, bekerja di home
industry (industri rumahan) atau pekerjaan lain yang ada di sekitar
pesantren yang sekiranya tidak mengganggu kegiatan kuliah dan proses menulis.
Tahapan ketiga, adalah tugas santri yang sudah mengibarkan karyanya di media
massa, untuk membimbing santri lain yang belum dimuat. Inilah metode
pembelajaran di pesantren menulis ini, yang sekaligus menjadi ujian tingkat
tawakal, keyakinan, dan juga sejauh mana para santri menambatkan optimisme
kepada Allah SWT berkaitan dengan rezeki, belajar, dan menjalin interaksi
sosial di masyarakat yang masif dan harmonis.
Dengan keuletan, kesabaran serta istiqamah Gus Zainal,
pesantren ini mampu melahirkan penulis-penulis muda berbakat. Dan tulisan para
santri telah dimuat di Kompas, Media Indonesia, Republika,
Koran Sindo, Koran Tempo, Jawa Pos, Bisnis Indonesia,
Suara Pembaruan, Majalah Genta, Indopos, Horison, Kedaulatan
Rakyat, Bernas dan pelbagai media lokal lainnya.
Model-model pembelajaran di atas, merupakan implementasi dimensi
spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas. Dimensi inilah yang
dibangun, sekaligus menjadi jargon pesantren. Gus Zainal mengajak seluruh
santri untuk berjalan beriringan menerapkan dimensi tersebut dalam satu
integritas yang termanifestasikan dalam satu hadist khairun naas anfa’uhum
linnaas (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat kepada orang
lain) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Amin!
Ada kontak person yang bisa saya hubungi di sini?
BalasHapusAda
BalasHapus