Selasa, 27 September 2016

Posted by Unknown | File under :
OLEH: TAUFIQ STAQUF

Kabar buruk tentang Indonesia menyerbu tiada henti di media masa dewasa ini. Kekerasan dan korupsi yang seolah tiada akhir membuat mata dan pendengaran kita dibuat kacau karenanya.

Saking kacaunya, ketika kita memejamkan mata, mungkin kita akan melihat Indonesia serupa kapal pesiar mewah Titanic yang indah bukan buatan, dan besar bukan kepayang, akan tetapi segera tenggelam karena menabrak gunung es yang terlihat kecil dan mulanya disepelekan sang nahkoda kapal.

Dengan telinga yang bahkan ditutup oleh kedua tangan kita sekalipun, mungkin kita akan mendengar kehebohan suara panik di lambung kapal, perdebatan di ruang kendali untuk mengganti nahkoda dan gema teriakan orang yang berebut sekoci minta diselamatkan.
Ilustrasi tentang Indonesia sebagai kapal mewah Titanic mungkin terlalu dramatis dan sentimentil. Karena, sebuah bangsa bukanlah sebuah kapal (betapapun mewah dan besarnya) yang dalam sekejap bisa hancur lalu tenggelam dalam lautan sejarah.

Akan tetapi, kehancuran sebuah bangsa bukanlah suatu kemustahilan, dan kejadiannya adalah suatu yang terlalu kecil dalam skala sejarah peradaban manusia, apalagi sejarah alam semesta.

Lalu, apa faktor yang membuat hancur sebuah bangsa? Mungkin jawabannya bisa kita tanyakan kepada Michel Angelo, salah seorang seniman terbesar Italia dan pelopor realisme renaisans awal di Eropa. Ia konon pernah mengatakan: Jangan sekali-kali mengabaikan detail-detail dalam bekerja, karena kesempurnaan selalu dibentuk dari hal yang kecil, tetapi kesempurnaan itu sendiri bukan lagi hal yang kecil. Dengan cara yang sama, atau mungkin nyaris sama, kita dapat berkata: mengabaikan detail adalah melakukan kekerasan terhadap kerja, dan penghancuran terhadap kesempurnaan. Dan Indonesia yang konon adalah negara kepulauan terbesar di dunia, nampaknya telah mengabaikan detail-detail tersebut.

(1)
29 Juli 2016 lalu, Indonesia, negara yang konon ramah, telah melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dengan mengeksekusi Freddy Budiman, (seorang bandar narkoba) di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia mati dengan jantung yang dilubangi peluru senapan milik Indonesia; Ibu pertiwi yang menjadi tempat ia lahir dan dibesarkan.

Hukuman mati yang dilakukan negara, menurut para ahli, bukan hanya sebuah pelanggaran hukum semata, melainkan juga menyerempet kepada pelanggaran moral dan etika.

Bagi saya, pertanyaan moral yang sesungguhnya adalah apakah hukuman mati berkeadilan dan berguna?  Jadi, pertanyaan tidak hanya melulu bertumpu pada alasan hukum yang berlaku.  Hukum yang berlaku tidak memastikan adanya keadilan.  Apakah adil adalah ketika mereka yang menyelundupkan 3 kilogram narkoba lalu dihukum mati, sedangkan mereka yang korupsi ratusan, bahkan trilyunan rupiah bebas melenggang di depan mata?  Bukankah korupsi uang rakyat sama kejinya dan juga mematikan rakyat miskin karena merampok hak-hak pelayanan fasilitas mereka?


Todung Mulya Lubis berpendapat, ada lebih dari 140 negara di dunia yang tidak setuju dengan hukuman mati, dan Jepang adalah salahsatunya, yaitu sebuah negara yang tingkat kejahatannya paling rendah di dunia. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Tak lain karena kejahatan hanya dapat dikurangi dengan cara pembenahan para penegak hukum ke arah yang lebih baik, bukan dengan merenggut hak hidup seseorang.

(2)
10 Januari 2015. Presiden Joko Widodo memilih Budi Gunawan sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan Sutarman.

13 Januari 2015. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.

14 Januari 2015. Budi Gunawan dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR.

15 Januari 2015. Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon kapolri menggantikan Jenderal Sutarman.

19 Januari 2015. Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

22 Januari 2015. Kuasa hukum Budi Gunawan melaporkan para komisioner KPK ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dengan tuduhan membocorkan rahasia negara berupa laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK ) terhadap rekening Budi Gunawan dan keluarganya.

Pada hari yang sama, PLT Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan pernyataan publik bahwa Abraham Samad pernah mengutarakan ambisi menjadi calon wakil presiden dan bahwa Samad menuduh Budi Gunawan menggagalkan ambisinya.

23 Januari 2015. Bareskrim Polri menangkap wakil ketua KPK Bambang Widjojanto dengan tuduhan memerintahkan saksi sengketa pilkada Kotawaringin Barat bersumpah palsu.

24 Januari 2015. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja diadukan ke Bareskrim Polri atas dugaan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber.

26 Januari 2015. Wakil Ketua KPK Zulkarnaen dilaporkan ke Mabes Polri dengan tuduhan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008.

2 Februari 2015. Sidang gugatan pra peradilan Budi Gunawan dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

16 Februari 2015. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum.

10 September 2016. Budi Gunawan ditetapkan sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Sebuah ironi, di mana yang berstatus tersangka menjadi orang nomor dua di tubuh kepolisian republik Indonesia.

Hukum pidana, kata JE Sahetapy, adalah hukum yang buruk, bisa Anda renungkan sendiri bagaimana hukum yang (katanya) buruk dijalankan oleh orang yang busuk.

Meski demikian, Indonesia tampaknya tidak akan hancur dan tenggelam besok, tidak juga lusa. Kecuali jika pemerintah membuktikan bahwa tak ada alasan kuat untuk mempertahankan hidup Indonesia, tak ada lagi inspirasi yang memanggil orang berkorban untuknya.

Sebuah bangsa memanglah sebuah solidaritas berskala besar, dibentuk oleh perasaan akan pengorbanan yang telah diberikan di masa silam, dan yang disiapkan di masa depan.

Renan mungkin benar ketika mengatakan bahwa menyangkut memori nasional, rasa sakit lebih bernilai ketimbang kejayaan.

21 September 2016

-Taufiq Staquf, bukan luwak!

0 komentar:

Posting Komentar