Selasa, 27 September 2016

Posted by Unknown | File under :
"OLEH: SALMAN RUSYDIE ANWAR"


    Saya lupa puisi berikut ini detailnya ada di halaman berapa. Tapi yang pasti itu puisinya Faizi L Kaelan, yang terangkum dalam antologi puisi tunggalnya, Delapanbelas Plus. Di antolongi tersebut, Faizi L Kaelan menulis sebuah puisi yang berbunyi demikian; kau memang bukan segalanya bagiku, tapi nyaris. Dalam diksi antara bukan dan nyaris ini, terbentanglah lorong panjang pergulatan dimana penolakan dan pengakuan, seakan sama-sama datang ke hadapan kita dan meminta untuk segera dipikirikan.

    Dalam puisi tersebut, saya dibuat begitu terpukau hanya pada satu kata; nyaris, yang merupakan kata pertama dalam tulisan ini namun menjadi kata terakhir dalam puisinya Faizi. Nyaris, ya, nyaris. Kata ini-termasuk dengan rangkain diksi sebelumnya-terasa istimewa dan begitu memikat saya. Semua itu tidak lain karena beberapa hal.



    Pertama, kata “nyaris” bagaikan sebuah kata yang menegaskan bahwa diskursus apa pun dalam hidup ini segalanya berada pada tataran yang tidak benar-benar utuh, murni, dan sebenar-benarnya. Semuanya berhenti pada satu garis yang bernama “nyaris”. Karena itu, tidak ada yang beanr-benar bisa menjadi segalanya bagi kita selain hanya pada “kenyarisan-kenyarisan” itu sendiri.

    “nyaris” ada pada segala hal dalam setiap pencarian. Seseorang yang bergerak mencari kebenaran misalnya, ia akan selalu berhenti pada garis batas bernama nyaris itu tadi. Dia mungkin tidak akan pernah mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya, apalagi sampai harus menganggap dirinya yang paling benar. Yang bisa ia lakukan barangkali hanyalah mendekati kebenaran yang membuatnya nyaris melebur di dalamnya (sekali lagi saya katakan, nyaris melebur di dalamnya).

    Karena dibatasi oleh jarak yang bernama “nyaris”, maka kebenaran tidak bisa dianggap hanya milik perorangan betap pun gigihnya ia mencari kebenaran itu. Dengan demikian, keadaan yang terhadap apa saja yang dianggapnya paling penting, paling benar dan paling utama dalam hidupnya. Susah..!? Wajar. Saya saja susah memahaminya kok.

    Tapi tidak usah galau. Mari kita buat contoh sebagai perumpamaan. Uci, sowok flamboyan yang sangat memfavoritkan warna bulu jagung sehingga rambutnya pun disemir seupa bulu jagung itu, setiap bangun tidur selalu mengirim sms kepada pacarnya. Isinya begini, “apa pun yang kau minta, aku akan selalu memenuhinya, sayang”. Ini sms kepada dia ketika baru bangun tidur di pagi hari. Kemudia dia pergi ke toilet untuk suatu urusan yang tidak bisa diwakilkan. Di dalam toilet, karena masih belum puas menyatakan isi hatinya kepada sang pacar yang benar-benar dia cinta mati kepadanya, Uci kembali berkirim sms. Isinya, “percayalah, aku akan selalu ada untukmu, waktu, sepenuhnya milikmu.”  Prett..

    Apa yang membuat si Uci berkirim sms dengan kata-kata seperti itu, sungguh tidak perlu lagi kita pertanyakan. Semuanya berasal dari satu hal yang kita semua maklum, yaitu rasa cinta si Uci yang begitu mendalam kepada sang pacar. Sedemikian mendalamnya rasa cinta si Uci yang begitu mendalam kepada sang pacar. Semikian mendalamnya rasa cinta si Uci kepada pacarnya, sampai-sampai dia menganggap dirinya tidak ada lagi, tidak penting lagi, karena yang paling utama dan paling penting bagi dia adalah pacarnya semata. Maka tak heran kalu seiap kali pergi ke angkringan, si Uci dengan gagah berkata kepada semua orang yang ada di angkringan.

“kalian tahu, di dunia ini, hanya wanitaku yang paling cantik, paling baik dan paling manis dari siap pun. Baginya, aku mau memenuhi semua yang dia minta”.

“Leffay kamu mas,” celetuk penjaga angkringan dengan suara pelan. Agaggaaaagghkh...

Kalau memakai cara pandang filsafat, khususnya mengenai teori kebenaran, apakah sms Uci itu dapat dikatakan benar? Belum tentu. Tapi kalu nyaris, iya. Kita tahu bahwa dari sekian teori kebenaran, ada satu teori yang disebut dengan Teori Performatif. Teori ini degagas oleh almukarrom John Langshaw Austin (1911-1960), yang kemudian dimakmumi oleh santri-santrinya seperti Frank Ramsey, Peter Strawson dan lainnya.

    Teori performatif mengatakan bahwa suatu pernyataan baru dianggap benar jika ia menciptakan realitas sebagai wujud nyata dari pernyataan tersebut. Karena itu, Pak Austin tidak setuju dengan teori klasik yang mengatakan bahwa “salah” dan “benar” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu “deskriptif”. Tidak lebih.

“ah, gombal itu,” sergah Pak Austin. “justru pernyataan bisa dianggap benar ketika dari pernyataan itulah kemudian tercipta realitas, fakta, yang nyata, yang bisa diraba, yang bisa dielus-elus dan di.....ah, jangan diteruskan lah. Si Uci nanti kegirangan mama.”

Jadi, ketika si Uci berkata pada pacarnya, bahwa apa pun yang diminta sang pacar dia sanggup memenuhi semuanya, maka benar-tidaknya pernyataan Uci benar atau tidak. Kira-kira, ketika pacarnya nelpon, “Mas Uci, aku pengen pizza hurt nih, tolong belikan ya,” apakah Uci ketika itu langsung berangkat untuk membelikan pizza atau sebaliknya, dia malah mejawab dengan nada sedih, “Sory hanya, saat ini aku lagi tipis. Jangankan pizza hurt, untuk beli sebiji tempe goreng saja aku nggak bisa.”

Nah, berangkat dari contoh ini, apakah pernyataan Uci tentang sang pacar yang menurutnya paling cantik dan paling manis di dunia sehingga dia mau memberikan apa saja yang diminta olehnya adalah sesuatu (deskripsi) yang benar? Oh, jelas tidak. Tapi kalau nyaris, iya. Kau memang bukan segalanya bagiku, tapi nyaris. Kata Faizi. Kalau dibalik dia akan menjadi. “kau nyaris segalanya bagiku, tapi (sebenarnya) bukan.”

Kedua,  idiom “nyaris” ini bisa juga kita gunakan untuk melihat hal-hal lain di luar urusan cinta asmara yang aneh, seperti kisah cintanya si Uci kepada si Icu. Sebut saja dalam hal agama, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Karena merasa telah mempelajari agama dari sumber yang dianggapnya paling autentik, Abu Ubay Baihaqi 
 Al-Vulkanik al-Merapi dengan lantang berkata, bahwa pemahamannya saja yang paling benar tentang agama. Yang tidak sama dengan dia adalah sesat, setan, sampah api neraka. Lalu dikutiplah satu dua dalil yang diharapkan dapat menjadi bukti bahwa pemahamannya itulah yang paling benar dan lebih unggul.

Tapi, Abu Ubay al-Merapi sepertinya lupa membaca puisinya Fazi di atas, bahwa selalu ada kata “nyaris” dalam setiap pencarian, pernyataan dan keyakinan sebelum seseorang bena-benar sampai kepada apa yang dianggapnya paling benar. Dan nyaris itu adalah batas akhir dari kemampuan setiap manusia untuk membuktikan betapa manusia itu tetaplah manusia yang memiliki keterbatasan dalam segala lini kehidupannya. Dia tidak bisa menganggap bahwa rasa cinta dan segala pengetahuan yang dimiliknya mengungguli dari segala rasa cinta ada “nyaris” inilah, maka segala pengetahuan tak pernah final dan kebenaran tak bisa direngkuh hanya oleh seorang atau sekelompok golongan (the truth is too large is owned one person or a group) tapi mereka hanya nyaris, nyaris dan nyaris lebur dalam segala hal yang dianggap benar.

*Salman Rusydie Anwar, lahir di Sumenep 1981 yang lampau
26 September 2016

0 komentar:

Posting Komentar