Rabu, 28 September 2016

Posted by Unknown | File under :
OLEH: MUCHLAS J. SAMORANO

Politik dan Kontestasi:
Sebuah Pengantar

Tulisan ini, mulanya, hanyalah ikhtisar untuk mengikat jauh pembacaan Saya tentang literatur interdisipliner ilmu politik. Kontestasi—yang tak jarang juga menelurkan konstelasi—dalam politik justru menjadi turning point (titik-balik) untuk mengungkap kajian analitis; semacam mengasah keterkaitan korelatif antara teori dengan praksis. Dalam politik, kontestasi menjadi event garde politik elektoral. Kontestasi adalah tonggak utama sistem politik demokratis. Tentu, politik adalah soal ‘tata-cara bersaing’.


Paska reformasi, penataan sistem politik Indonesia nyaris menemukan titik gemilangnya. Firmazah mencatat, ada 4 peruabahan arus besar dalam sistem politik paska peristiwa 21 Mei 1998, 2 di antaranya: (1) lahirnya sistem multi-partai sebagai bentuk rekonstruksi dari ‘tri-partai’ Orde Baru; (2) perhitungan suara menggunakan voting system dan bukan berdasarkan nomor urut . Pada gilirannya, sistem multi-partai mendesak setiap—meminjam Pareto—‘elite yang memerintah’ untuk menyalurkan ‘kehendak kuasa’ dalam setiap kontestasi. Makanya, politik adalah seni merebut kuasa. Dengan segala cara, tentu saja.

Tipologi paling dasar dari sistem demokrasi substantif sebenarnya terletak pada model suksesi pemerintahannya. Pada sistem ini, peralihan dan pergantian kekuasaan dilakukan dengan mekanisme pemilihan. Setiap masyarakat punya hak untuk memilih, sebagaimana juga punya hak untuk dipilih. Inilah, menurut hemat Saya, akar lahirnya trayek persaingan dalam politik.

Bersaing sebenarnya adalah ide dan hasrat naluriah manusia. Setiap kita mesti memiliki kehendak untuk bersaing demi memantapkan posisi dan tujuan spesifik. Bahkan, dalam terminologi politik, bersaing justru menjadi landasan ontologis setiap lembaga atau organisasi dalam menentukan perangkat regulatifnya. Setiap piranti kebijakan oragnisasi politik dibuat dengan tafsir ‘cara menang’ dan ‘cara merebut’. Ini baku.

Schattscheneider (1942) menilai, bahwa demokrasi adalah sistem yang berbasis persaingan antar partai politik. Bagi Schattscheneider, lembaga politik memang ‘wajib’ bertanding untuk merebut kuasa, sementara publik adalah penentu kemenangan (legitimasi kuasa). Pada wilayah praksis, persaingan tidak lagi diterjemah berdasarkan kaidah elegan-santun, tetapi frontal-konfrontatif. Aliran teoretisi politik ‘ekstrem’ kaliber  Lasswell, Gaetano Mosca, dan Roberto Michels barangkali membekas dalam setiap laku persaingan itu. Menang dengan segala cara, intinya. Santun atau frontal, bukan soal.

Bahkan, di luar mekanisme baku pemilihan, selalu saja hadir agenda persaingan. Bayangkan, di dalam kelompok penguasa (the ruling class), selain memang ada elit yang berkuasa (the ruling elite), juga ada elite tandingan —dalam istilah mutakhir disebut oposisi. Atas realitas ini, bisa ditarik formulasi, bahwa untuk apapun urusan pemerintahan elektoral, persaingan, kompetisi, dan kontestasi selalu mewujud tidak hanya pada momen pemilihan.

Pada kadar tertentu, meski kontestasi harus berdasar pada aturan yuridis dan kultural, kerap saja setiap kontestan, elite, dan kroninya membikin strategi yang tidak manusiawi. Bagi Foucoult, kekuasaan akan hadir di manapun. Tetapi ingat, setaip kuasa pasti mensyaratkan perebutan dan persaingan. Begitu pula, Nietszche memandang bahwa kehendak kuasa (will to power) adalah sifat kodrati manusia. Tapi, sekali lagi, kuasa selalu menenun persaingan.

Sedikit Tentang Gerontokrasi

Dalam terminologi politik, gerontokrasi dimaknai sebagai proses dan bentuk pengendalian tatanan pemerintahan oleh kaum tua. Setiap pola pengembangan organisasi terus saja didasarkan pada relasi patron-klien: sebuah sistem yang menganut kepatuhan pada yang tua. Banyak istilah yang coba dikaitkan untuk mendedah definisi gerontokrasi. Pada 1996, Holy Fire adalah science fiction yang ditulis Michael Bruce Sterling. Novel ini, sebagaimana juga ditulis Eep S. Fatah, mewartakan tentang perkembangan tekhnologi dan obat-obatan yang bisa meningkatkan angka harapan hidup menjadi dua abad. Pada akhirnya, tulis Michael, sistem kehidupan masyarakat dikendalikan oleh orang berumur. Gerontocracy, kata Michael.

Gerontokrasi menarasikan dominasi kaum tua dalam setiap aktifitas politik pemerintahan. Ia hadir sebagai subyek pengendali, sementara pemuda adalah obyek yang dikendalikan. Gerontokrasi menegasikan partisipasi aktif kau muda, sehingga akibatnya, praksis kinerjanya tampak konservatif, lamban, dan kaku. Dalam hemat Saya, ada banyak implikasi buruk dalam model pemerintahan gerontokrasi, salah duanya: (1) terputusnya regenerasi politik yang melibatkan kontribusi kaum muda; (2) mandegnya transisi menuju demokrasi berkemajuan karena distribusi pemerintahan yang monolistik dan gerontokratif.

Gerontokrasi nyaris sama dengan oligarkhi politik. Lingkaran kekuasaan hanya didominasi elite tua dan proses peralihan pun akan dimenangkan kroni-kroninya. Famili dan pebisnis, pada konteks ini, adalah kooptasi figur untuk eksistensi dan survivalitas lembaga yang dikuasainya. Kuatnya patronase elite tua, terutama di instansi politik, akan berpengaruh terhadap prospek fungsional lembaga politik: dari publik-populisme menjadi privatisme.

Tetapi, gerontokrasi, pada perkembangan selanjutnya, memiliki makna yang kompleks. Seperti disebutkan Eep S. Fatah, gerontokrasi di Indonesia memiliki makna: (1) penguasaan oleh orang-orang tua; (2) penguasaan oleh mereka yang berprilaku seperti orang tua; (3)penguasaan oleh mereka yang bekerja di bawah perlindungan dan pengamanan politik kaum tua. Pada definisi poin satu, hemat Saya, sistem politik Indonesia sudah mulai membuangnya. Terbukti, suksesi kekuasaan di tubuh partai politik akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa kalangan tua—elite yang berumur lanjut—telah turun prabon.

Namun, bila definisi gerontokrasi dimaknai secara substantif, tentu jelas, bahwa sistem politik-pemerintahan masih cenderung gerontokratif. Ada banyak kaum muda yang menahkodai lembaga kenegaraan, tetapi justru dilanda badai skandal. Tentu saja, istilah ‘muda’ penting dimaknai tidak secara leksikal dan fisikal, tetapi lebih kepada substansi dan esensi. Gerontokrasi sering bersifat nostaligik: sering bersikukuh dengan masa lalu dan abai terhadap perkembangan masa depan, akhirnya, politik tampak monoton dan mandeg.

Gerontokrasi adalah penyakit politik! Tetapi, pertanya trivial: mampukah kaum muda mengambil alih mode kontestasi politik di tengah banalitas yang tanpa batas? Siklus politik hingga kini tetap mempertahankan patronase elite tua, meski tanpa disengaja. Partai politik masih dikuasai oleh otoritas ‘pemain lama’, sehingga, meski kontestan yang hendak tampil adalah kaum muda, tetapi tetap melalui proses relasi kepatuhan kepada elite tua. Ingat, berdasarkan definisi Eep, ini gerontokrasi. Lalu?


MUCHLAS J. SAMORANO
Peneliti pada Political View Forum Yogyakarta
28 Septermber 2016



0 komentar:

Posting Komentar