Rabu, 05 Oktober 2016

Posted by Unknown | File under :
Ahmad Naufel (Istimewa) Solopos

Ahmad Naufel. Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bulan ini umat manusia memperingati tiga kelahiran, yakni kelahiran Muhammad SAW. (Maulid Muhammad),  kelahiran Yesus (Natal), dan kelahiran lini masa baru (tahun baru 2016). Pada suatu kesempatan Muhammad SAW pernah bersabda kullu mauludin yu ladu ‘alal fithroh (setiap kelahiran pada dasarnya adalah suci).

Peringatan kelahiran Muhammad selalu hadir dengan puja-puji sebagai penanda keriangan atas lahirnya manusia agung yang mengemban misi memperbaiki moral umat yang digerus kejahiliahan.  Maulid bukanlah peristiwa dengan pesolek ornamental, melainkan terbitnya fajar kesederhanaan, pancarannya menjuntai dari masa ke masa.
Berbeda dengan orbit zaman yang titik tumpunya kapitalisme. Kelahiran adalah penanda sekaligus siklus masa untuk diperingati dengan kemeriahan. Inilah era saat umat manusia terdorong ke kubangan watak hedonis-materialistis.

Kefitrahan yang berarti terbebas dari sekap materi ternodai oleh watak yang mendamba ego individualisme. Kian tua umur, kian sumpek dengan urusan materi. Manusia-manusia seperti itu tak mampu menghadirkan kefitrahan dalam langit jiwa.

Yang “gagah” hanyalah dimensi jasad, sedangkan jiwanya ringkih. Kutub-kutub politik di negeri ini dihuni manusia yang jiwanya ringkih. Pelbagai persoalan dituntaskan tanpa memahami fundamen etik dalam berpolitik. Gagah dalam bersolek tapi semberawut saat memutus perkara.

Manusia yang hanya berkutat dalam persoalan ragawi cendrrung tak punya malu. Biarpun publik mengecam, mereka tetap ingin bercokol, duduk manis dan mengisap uang rakyat dari kursi empuk. “Kelahirannya” dalam jagat politik kita adalah marabahaya dan harus diwaspadai.

Idealisme dalam dirinya tergusur kepentingan ragawi. Tipe politikus demikian ini kehilangan daya dobrak untuk mengkritik dirinya sendiri atau dalam bahasa Habermas (1990) disebut lenyapnya ”rasio prosedural”.

Saat manusia mampu menginternalisasi unsur kefitrahan, sebenarnya ia membangun peradaban dalam dirinya. Kefitrahan hanya bisa dibangun dengan basis integritas dalam menjaga komitmen dan konsisntensi.

Mohammad Hatta (1930) berujar betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.

Argumen Aristoteles begitu masyhur, zoon politicon, manusia politik. Itulah sebab manusia secara umum pada dasarnya “berpolitik”. Muhammad pun demikian. Hanya saja, politik kenabian perlu dimaknai lebih etis dan tidak sekadar berpusat pada pemenuhan hasrat berkuasa.

Politik di titik ini, seperti yang dipaparkan Michel Foucault, berkelindan dengan seluruh dimensi kehidupan: budaya, sosial, agama, dan pengetahun.  Pada koridor tertentu, kekuasaan harus dimaknai secara universal.

Menurut Asep Salahuddin (2014), kekuasaan secara vertikal berarti mandat individu, sedangkan secara horizontal berarti mandat sosial. Politik kenabian berjangkar pada pemenuhan tanggung jawab yang tidak sekadar bergema, namun berjejak dan berefek baik sepanjang masa.

Asketisisme dalam berpolitik bisa terealisasi saat egoisme individu dan “koncoisme” gugur. Sangat menarik ketika Muhammad berhasil mencetuskan Piagam Madinah. Momen tersebut tanda Muhammad mengabdikan dirinya untuk kepentingan dan kebaikan umat.

Yatsrib sebuah kota yang sinar peradabannya temaram bermetamorfosis menjadi Madinah yang gemilang dengan pancaran peradaban kala Muhammad memimpin kota tersebut.

Keagungan Madinah memenuhi kategori wilayah berkeadaban (al-madinah al-fadhilah) Al-Farabi, kebaikan utama (highest good) Aristoteles, dan representasi ruang publik (public sphare) Habermas.

Kosmopolitanisme politik kenabian tercipta karena berjangkar pada nilai  dan fundamen etis. Politik bukanlah arena saling sikat, melainkan ruang terbentuknya kultur universal demi kemaslahatan bersama.

Karen Armstrong dalam Muhammad: A Biography of the Prophet (1991) menjelaskan Muhammad punya bakat politik dengan berpijak pada adab adiluhur, mampu mengubah kejahilan menjadi berpengatahuan, dan menyelamatkan umat dari bahaya disintegrasi.

Teladan
Atas dasar itu pula, Muhammad dalam rangka mewujudkan negara Madinah tidak pernah menempatkan seseorang, suku, dan golongan dalam kelas tertentu. Tidak ada kelas atas , tak ada kelas bawah, semua berdiri sama rata.

Hukum yang diterapkan mampu menerabas pagar besi elitisme. Berbeda dengan di negeri ini, hukum selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Melalui beragam karangan, syair, dan madah kita menjadikan Muhammad sebagai sosok teladan. Menjadi penting mereguk dan mencontoh keteladanan  Muhammad melalui kitab kelahirannya, baik klasik atau kontemporer, seperti kitab Burdah karya Imam Al-Bushiri, al-Maulidul al-Hana karya al-Hafidz al-‘Iraqi, Maulid Simtud Durar karya Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Maulid al-Barzanji karya Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji, atau Al-‘Arus karya Al-Farraj ibnu Jauzi.

Keagungan Muhammad yang tergambar dari seluruh kitab itu semestinya bergerak dalam kehidupan sehari-hari. Salahuddin al-Ayyubi membacakan maulid Muhammad untuk membangkitkan kobaran keberanian tentara.

Di tengah realitas kebangsaan yang kian kemaruk, merayakan Maulid Nabi bukan sebatas berselawat, tetapi inti dari pembacaan keteladanan Muhammad itu harus mengaktual dalam setiap kondisi zaman.

Ihwal yang paling substansial yaitu memperjuangkan visi abadi Islam yakni keselamatan melalui cara-cara yang damai dan menyejukkan. Bulan Maulid yang kebetulan bersama dengan bulan Natal harus dijadikan momentum membangun hubungan lintas iman yang penuh dengan kearifan.

Dengan demikian toleransi bukanlah isu yang berdengung kemudian senyap melainkan ajaran yang perlu dipupuk demi kedamaian umat manusia.



0 komentar:

Posting Komentar